Selasa, 16 Desember 2008

POLITIK HUKUM NASIONAL DAN POSISI SYARI’AT ISLAM

POLITIK HUKUM NASIONAL DAN POSISI SYARI’AT ISLAM

By. Paijo

a. Prolegnas sebagai potret politik hukum

Sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan cita-cita bangsa, tujuan negara, cita hukum, dan penuntun yang terkandung di dalam Pembukaaan UUD 1945; artinya tidak boleh ada produk hukum yang bertentangan dengan hal-hal tersebut di atas. Sistem hukum nasional mencakup dimensi yang luas yang oleh Friedmann disarikan ke dalam tiga unsur besar yaitu susbtansi atau isi hukum (substance), struktur hukum (staructure), dan budaya hukum (culture).Untuk mengerjakan pembangunan sistem hukum GBHN kita pada era Orde Baru mengembangkan sistem hukum ke dalam empat unsur yakni materi hukum, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, dan budaya hukum.

Kalau kita mau membicarakan pembangunan sistem hukum melalui politik hukum cakupannya dapat menjangkau semua subsistem dari sistem hukum yang luas. Tetapi pada umumnya pembicaraan tentang politik hukum sering menyederhanakan pada daftar rencana materi hukum yang akan dibuat.

Politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), artinya kalau kita ingin mengetahui pemetaan atau potret rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu sebagai politik hukum maka kita dapat melihatnya dari Prolegnas tersebut. Prolegnas ini disusun oleh DPR bersama Pemerintah yang dalam penyusunannya dikoordinasikan oleh DPR. Bahwa DPR yang mengoordinasikan penyusunan Prolegnas ini merupakan konsekuensi logis dari hasil amandemen pertama UUD 1945 yang menggeser penjuru atau titik berat pembentukan UU dari Pemerintah ke DPR. Seperti diketahui bahwa pasal 20 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen pertama berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.”

Bahwa Prolegnas merupakan “wadah” politik hukum (untuk jangka waktu tertentu) dapat dilihat dari UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dalam pasal 15 ayat (1) menggariskan bahwa, “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional.”

Sedangkan untuk setiap daerah, sesuai dengan pasal 15 ayat (2), digariskan juga untuk membuat Program Legislasi Daerah (Prolegda) agar tercipta konsistensi antar berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai ke daerah. Dengan demikian dari Prolegnas inilah kita dapat melihat setiap jenis UU yang akan dibuat untuk jangka waktu tertentu sebagai politik hukum.

Namun harus diingat bahwa menurut UU No. 10 Tahun 2004 Prolegnas bukan hanya terkait dengan materi atau rencana pembentukan peraturan perundang-undangan, melainkan lebih dari itu, prolegnas juga merupakan instrumen yang mencakup mekanisme perencanaan hukum agar selalu konsisten dengan tujuan, penuntun, dan cita hukum yang mendasarinya. Kedudukan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan hukum ini tertuang di dalam pasal 1 angka 9 UU No. 10 Tahun 2004 yang berbunyi, “Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.

Dengan demikian Prolegnas dapat dilihat baik sebagai isi atau materi hukum yang akan dibuat maupun sebagai instrumen atau mekanisme perencanaan hukum. Sebagai isi hukum Prolegnas memuat daftar rencana materi-materi hukum atau RUU yang akan dibentuk dalam periode tertentu guna meraih tahap tertentu pencapaian cita-cita bangsa dan tujuan negara, sedangkan sebagai instrumen perencanaan hukum Prolegnas menentukan cara dan prosedur yang harus ditempuh agar pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan) itu tidak keluar dari landasan dan arah konstitusionalnya. Dengan demikian Prolegnas merupakan potret politik hukum nasional yang memuat tentang rencana materi dan sekaligus merupakan instrumen (mekanisme) pembuatan hukum. Sebagai materi hukum Prolegnas dapat dipandang sebagai potret rencana isi atau substansi hukum, sedangkan sebagai isntrumen Prolegnas dapat dipandang sebagai pengawal agar pembuatan hukum itu benar.

b. Prolegnas sebagai rencana materi hukum

Sebagai wadah atau potret rencana isi hukum Prolegnas disusun berdasar usul dari DPR, Presiden, maupun Dewan Perwakilan Daerah yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan DPR. Penyusunannya mencakup jangka waktu lima tahun yang dipecah-pecah lagi untuk setiap tahun.

Meskipun setiap RUU harus masuk di dalam Prolegnas namun menurut pasal 17 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Pengajuan RUU di luar Prolegnas hanya dapat dilakukan oleh DPR atau Presiden, tidak termasuk DPD, dalam keadaan tertentu yakni dalam kondisi yang memerlukan pengaturan yang tidak tercantum di dalam Prolegnas, misalnya pengesahan perjanjian Internasional atau peningkatan Perpu (yang semula tidak tercantum di dalam Prolegnas) menjadi UU. Dalam kaitan ini dapat disebutkan juga adanya contoh yang sangat aktual pada saat ini yakni RUU Perubahan UU tentang Komisi Yudisial yang baru-baru ini beberapa isinya yang menyangkut pengawasan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Di dalam Prolegnas tahun 2004-2009 tidak ada rencana perubahan UU Komisi Yudisial, namun karena tiba-tiba terjadi kekosongan hukum dalam hal pengawasan oleh KY maka RUU Perubahan UU tentang KY dapat disusulkan di dalam prolegnas untuk secepatnya dibahas.

Sebagai wadah atau potret rencana isi hukum Prolegnas juga disusun berdasarkan arah dan prioritas untuk dijadikan program jangka pendek dan dijadwalkan pembahasannya di DPR.

Arah kebijakan:

1. Membentuk peraturan perundang-undangan di bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial budaya, pembangunan daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan sebagai pelaksanaan amanat UUD Negara republic Indonesia Tahun 1945.

2. Mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

3. Mempercepat proses penyelesaian rancangan undang-undang yang sedang dalam proses pembahasan dan membentuk undang-undang yang diperintahkan oleh undang-undang.

4. Membentuk peraturan perundang-undangan yang baru untuk mempercepat reformasi, menudukung pemulihan ekonomi, perlindungan HAM, dan pemberantasan KKN dan kejahatan transnasional.

5. Meratifikasi secara selektif konvensi internasional yang diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi, demokrasi dan perlindungan HAM serta pelestarian lingkungan hidup.

6. Membentuk peraturan perundang-unbdangan baru sesuai dengan tuntutan masyarakat dan kemajuan zaman.

7. Memberikan landasan yuridis bagi penegakan hukum secara tegas, professional dan menjunjung tinggi HAM dan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender.

8. Menjadikan hukum sebagai sarana pembaruan dan pembangunan di segala bidang yang mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa dan negara guna mewujudkan prinsip keseimbangan antara ketertiban, legitimasi, dan keadilan.

Kriteria prioritas Prolegnas

1. RUU yang merupakan perintah dari UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. RUU yang merupakan perintah Ketetapan MPR-RI.

3. RUU yang terkait dengan poelaksanaan undang-undang lain.

4. RUU yang mendorong pencepatan reformasi.

5. RUU yang merupakan warisan prolegnas 2000-2004 disesuaikan dengan kondisi saat ini.

6. RUU yang menyangkut rivisi atau amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang lainnya.

7. RUU yang merupakan ratifikasi terhadap perjanjian internasional.

8. RUU yang berorientasi pada pengaturan perlindungan HAM dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender.

9. RUU yang medukung pemulihan dan pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan.

10. RUU yang secara langsung mnyentuh kepentingan rakyat untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial masyarakat.

c. Prolegnas sebagai instrumen (mekanisme)

Sebagai instrumen pembentukan hukum Prolegnas diatur dalam satu mekanisme sesuai dengan ketentuan pasal 16 UU No. 10 Tahun 2004, yaitu:

(1) Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah dikoordinasikan oleh Dewan perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan Dewan perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.

(2) Penyusunan Proram legislasi nasional di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang khusus menangani bidang legislasi.

(3) Penyusunan Program Legislasi Nasional di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang peraturan perundang-undangan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara penyusunan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan presiden.

B. KERANGKA PIKIR POLITIK HUKUM NASIONAL

Pijakan dan Penuntun

Uraian di atas secara singkat menunjukkan bagaimana membuat hukum dan menjaganya melalui politik hukum. Jika hukum diartikan sebagai “alat” untuk meraih cita-cita dan mencapai tujuan bangsa dan negara maka politik hukum diartikan sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa dan negara. Dengan kata lain politik hukum adalah upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan. Dengan arti yang demikian. maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut:

1.Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara yakni:

a. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

b. Memajukan kesejahteraan umum.

c. Mencerdaskan kehidupan bangsa.

d. Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

3. Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yakni:

a. Berbasis moral agama.

b. Menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi.

c. Memeprsatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya.

d. Meletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat

e. Membangun keadilan sosial.

4. Hampir mirip dengan butir 3, jika dikaitkan dengan cita hukum negara Indonesia, politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk:

a. Melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa.

b. Mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemsayarakatan.

c. Mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum)

d. Menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusiaan.

5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila[1][6] yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Sistem hukum yang demikian, minimal, mempertemukan unsur-unsur baik dari tiga sistem nilai dan melettakkannya dalam hubungan keseimbangan, yakni:

a. Keseimbangan antara individualisme dan kolektivisme.

b. Keseimbangan antara Rechtsstaat dan the Rule of Law.

c. Keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cermin nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

  1. Pancasila sebagai penuntun hukum nasional

Dari uraian di atas tampak bahwa system hukum nasional kita adalah system hukum yang bukan berdasar agama tertentu tetapi memberi tempat kepada agama-agama yang dianut oleh rakyat untuk menjadi sumber hukum atau memberi bahan terhadap produk hukum nasional.

Hukum agama sebagai sumber hukum di sini diartikan sebagai sumber hukum material (sumber bahan hukum) dan bukan harus menjadi sumber hukum formal (dalam bentuk tertentu menurut peraturan perundang-undangan.

Pancasila sebagai dasar ideologi negara sebenarnya sudah sangat tepat untuk negara kebangsaan Indonesia yang multi ras, multi kutural, multi etnis, multi agama, dan daerahnya sangat luas. Namun karena kurang baik dalam menjelaskan dan dijelaskan oleh rezim Orde Baru yang korup dalam pelaksanaannya maka Pancasila yang sejatinya merupakan modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia pernah dipelesetkan sebagai ideologi yang “bukan-bukan.”

Sebelum akhirnya Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dicabut pada tahun 1998 di dalam berbagai penataran P-4, dengan banyak penatar yang hipokrit dan korup, dulu dijelaskan bahwa Pancasila bukanlah konsep individualisme (liberal kapitalis) dan bukan kolektivisme (sosialisme komunis). Pancasila juga bukan dasar negara agama dan bukan dasar negara sekuler.

b. Konsepsi prismatik

Sebenarnya Pancasila merupakan konsepsi prismatik yang menyerap unsur-unsur terbaik dari konsep-konsep yang saling bertentangan. Pancasila mengayomi semua unsur bangsa yang majemuk yang kemudian di dalam sistem hukum melahirkan kaidah-kaidah penuntun yang jelas. Namun setelah Orde Baru jatuh Panacasila jarang disebut-sebut dengan kebanggaan, bahkan di dalam pidato-pidato pejabat negara sekali pun. Di banyak Fakultas Hukum kuliah-kuliah Pengantar Hukum Indonesia juga jarang melakukan pendalaman atas konsepsi ini, padahal dulunya mata kuliah ini memberi porsi yang sangat besar bagi apa yang sering disebut sebagai Sistem Hukum Pancasila.

Satjipto Rahardjo dapat dicatat sebagai satu dari sedikit akademisi hukum yang pada era reformasi ini masih tegas menyebut Sistem Hukum Pancasila sebagai sistem yang memang berakar dari budaya bangsa yang khas. Satjipto menulis ini di dalam bukunya, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Penerbit buku Kompas, 2003). Dikatakan bahwa hukum tidak berada dalam vakum melainkan ada pada masyarakat dengan kekhasan akar budayanya masing-masing. Karena hukum bertugas melayani masyarakat maka sistem hukum juga harus sama khasnya dengan akar budaya masyarakat yang dilayaninya. Sistem Hukum Pancasila adalah sistem hukum yang khas untuk masyarakat Indonesia.

Sebagai konsepsi prismatik (meminjam Fred W. Riggs, 1964) Pancasila mengandung unsur-unsur yang baik dan cocok dengan nilai khas budaya Indonesia yang sudah hidup di kalangan masyarakat selama berabad-abad. Konsepsi prismatik ini minimal dapat dilihat dari empat hal. Pertama, Pancasila memuat unsur yang baik dari pandangan individualisme dan kolektivisme. Di sini diakui bahwa manusia sebagai pribadi mempunyai hak dan kebebasan asasi namun sekaligus melekat padanya kewajiban asasi sebagai makhluk Tuhan dan sebagai makhluk sosial.

Kedua, Pancasila mengintegrasikan konsepsi negara hukum “Rechtsstaat” yang menekankan pada civil law dan kepastian hukum dan konsepsi negara hukum “the Rule of Law” yang menekankan pada common law dan rasa keadilan. Ketiga, Pancasila menerima hukum sebagai alat pembaruan masyarakat (law as tool of social engineering) sekaligus hukum sebagai cermin rasa keadilan yang hidup di masyarakat (living law). Keempat, Pancasila menganut paham religious nation state, tidak menganut atau dikendalikan oleh satu agama tertentu (negara agama) tetapi juga tidak hampa agama (negara sekuler) karena negara harus melindungi dan membina semua pemeluk agamna tanpa diskriminasi karena kuantitas pemeluknya.

c. Penuntun hukum

Konsepsi prismatik yang seperti itu kemudian melahirkan beberapa penuntun sebagai landasan kerja politik hukum nasional.

Pertama, hukum-hukum di Indonesia harus menjamin integrasi atau keutuhan bangsa dan karenanya tidak boleh ada hukum yang diskriminatif berdasar ikatan primordial. Maksud substantif dari penuntun ini adalah bahwa hukum nasional harus menjaga keutuhan bangsa dan negara baik secara territori maupun secara ideologi.

Kedua, hukum harus diciptakan secara demokratis dan nomokratis berdasarkan hikmah kebijaksanaan. Pembuatannya harus menyerap dan melibatkan aspirasi rakyat dan dilakukan dengan cara-cara yang secara hukum atau prosedural fair.

Ketiga, hukum harus mendorong terciptanya keadilan sosial yang, antara lain, ditandai oleh adanya proteksi khusus oleh negara terhadap kelompok masyarakat yang lemah agar tidak dibiarkan bersaing secara bebas tapi tidak pernah seimbang dengan sekelompok kecil bagian masyarakat yang kuat.

Keempat, tidak boleh ada hukum publik (mengikat komunitas yang ikatan primordialnya beragam) yang didasarkan pada ajaran agama tertentu sebab negara hukum Pancasila mengharuskan tampilnya hukum yang menjamin toleransi hidup beragama yang berkeadaban.

Dengan konsepsi prismatik dan kaidah penuntun hukum yang khas seperti itu sebenarnya kita sudah mempunyai pegangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tegas jika kemudian ada hukum-hukum yang dinilai “nyleneh” dan keluar dari bingkai penuntunnya.

Kalau memang ada produk hukum yang menyimpang dari empat kaidah penuntun itu haruslah diselesaikan dengan instrumen hukum yang tersedia misalnya melalui pengawasan repressif oleh Pemerintah, Judicial review, legialative review, dan sebagainya agar dapat disesuaikan dengan sistem hukum Pancasila yang prismatik.

d. Posisi Syari’at Islam

Dari kerangka pikir politik hukum nasional tersebut kemudian kita dapat mencari jawaban atas pertanyaan tentang letak atau posisi syari’at Islam di dalam hukum nasional.

Seandainya pada tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tidak mengubah Mukaddimah UUD yang telah disahkan pada siang tanggal 10-16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaaan Indonesia (BPUPKI) maka pemberlakuan syari’at Islam sebagai sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) dalam berbagai aspek akan dapat dengan mudah dilakukan. Seperti diketahui Mukaddimah UUD yang disahkan pada sidang BPUPKI tanggal 10-6 Juli 1945 memuat Piagam Jakarta sebagai dasar negara yang sila pertamanya berbunyi ” Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Piagam Jakarta tersebut merupakan hasil kompromi golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islam tanggal 22 Juni 1945.

Namun Piagam Jakarta tersebut, khusus menyangkut tujuh kata ”dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dibatalkan dan diubah oleh Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sehingga sila pertama dasar negara berbunyi ”Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terlepas dari konstroversi sejarah dan politisasi yang terjadi ketika itu maka yang sah secara konstitusional dasar negara kita adalah Pancasila yang tanpa tujuh kata yang terkait dengan syari’at Islam itu. Dasar negara kita adalah Pancasila yang dari sudut paham kenegaraan merupakan religous nation state, bukan negara agama (yang menganut satu agama tertentu) dan bukan negara sekuler (yang hampa agama). Indonesia adalah negara kebangsaan yang religius yang menjadikan ajaran agama sebagai dasar moral dan sumber hukum materiil dalam penyelenggaraaan negara dan kehidupan masyarakatnya. Dalam bidang hukum negara Pancasila melahirkan konsep prismatik yang menggariskan penuntun-penuntun tertentu dalam pembuatan hukum nasional seperti yang diuraikan di atas.

Di dalam konsepsi yang demikian maka syari’at Islam (sampai pada hukum dan fiqihnya) dapat menjadi sumber hukum nasional bersama dengan sumber-sumber lainnya yang sudah lama hidup sebagai kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Hukum Islam dalam bidang keperdataan, terutama menyangkut hukum kerluarga, tetap berlaku bagi ummat Islam sebagaimana telah dijadikan politik hukum oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1848 sejauh pemeluk Islam ingin memberlakukan bagi diri mereka

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta, 1988.

AV Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th ed., Ebflish Language Book Society and Mac Millan, London, 1971.

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan di Indonesia, Ind-Hill Co, Jakarta, 1992.

Bodenheimer, Jurisprudence, the Philosophy and Method of Law, Harvard University Press, Cambridge (Mass), 1970.

David Kairys, The Politics of Law, a Progressive Critique, Pantheon Books, New York, 1982.

Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas, Tinjauan Etis dan Budaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987.

Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, Aspen Law & Business, New York, 1997.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Jimly Asshiddiqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2002.

John Henry Marryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, Stanford, Co., 1969.

John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973.

Lawrence M. Friedman, A History of American Law, Simon and Schuster, New York, 1973;

Lawrence M. Friedman, American Law: an Introduction, W.W. Norton and Company, New York, 1984;

Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Pembinaan Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan Binacipta, Bandung, 1976.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan dan PT Alumni, Bandung, 2002.

Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, disertasi doktor dalam Ilmu Hukum di Program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 1993.

Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum, PT Gama Media-the Ford Foundation, Yogyakarta-Jakarta, 1998.

Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, PT. Rinneka Cipta, Jakarta, 2001.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2006.

Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, Prapanca, Jakarta, 1959.

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar